Haba Aneuk Syuhada Aceh Utara, 22 Juni 2025 — Suasana Minggu pagi di Cot Girek, Aceh Utara, biasanya lengang. Jalan-jalan menuju areal perkebunan sawit PTPN IV Regional 6 nyaris tak berjejak kendaraan. Namun pagi itu berbeda. Langit belum sepenuhnya cerah, embun masih menempel di ujung daun, tapi di area pabrik kelapa sawit Cot Girek, aktivitas sudah menggeliat. Tumpukan tandan buah segar (TBS) sawit menggunung di loading ramp, dan suara mesin boiler terdengar mengaum seperti orkestra pagi.
Hari itu, Minggu, 22 Juni 2025. Hari libur bagi sebagian besar orang, tetapi tidak bagi sejumlah karyawan di pabrik ini. Di sinilah cerita dimulai, tentang bagaimana semangat, tanggung jawab, dan loyalitas menyatu dalam pekerjaan yang tak kenal hari libur.
Rahmad, 39 tahun, salah satu operator digester, terlihat sudah berseragam lengkap dengan helm kuning khas pekerja pabrik. Tangannya cekatan memeriksa tekanan uap. Matanya tajam memperhatikan manometer.
"Biasanya orang Minggu ke pantai atau pasar pagi. Saya malah ke pabrik," katanya sambil tersenyum. "Bukan karena tidak ingin istirahat, tapi buah sawit tak bisa menunggu."
Rahmad bercerita, dalam satu hari, pabrik Cot Girek bisa mengolah hingga 60 ton sawit. Bila pengolahan ditunda sehari saja, buah akan membusuk, kadar minyak turun, dan rendemen jatuh. “Bisa rugi besar,” katanya.
Karena itu, beberapa karyawan, termasuk Rahmad, secara sukarela datang bekerja meski kalender menunjukkan warna merah.
Mereka memang mendapat insentif tambahan. Lembur di hari Minggu dihitung dobel. Ada bonus harian, plus voucher makan dan minuman. Tapi bagi sebagian dari mereka, motivasinya lebih dalam dari sekadar angka di slip gaji.
Sulastri, 34 tahun, analis laboratorium minyak, mengungkapkan alasannya tetap bekerja. “Saya merasa punya tanggung jawab. Kalau kami semua libur, lalu siapa yang jaga kualitas minyak? Tidak bisa dibiarkan,” katanya. "Dan jujur saja, suasana Minggu di pabrik lebih santai. Kami jadi lebih akrab, tak melulu soal pekerjaan."
Ia menyebut hari Minggu sebagai "hari gotong royong terselubung." Karyawan dari berbagai divisi biasanya saling bantu. Mereka yang bekerja di loading ramp bisa membantu tim rebusan. Operator mesin bisa ikut bantu di stasiun klarifikasi. Tak ada sekat.
Manajer Pabrik Cot Girek, Yusran tak pernah memaksa. Ia memahami bahwa setiap karyawan punya hak untuk beristirahat. Tapi ia juga tak bisa menutup mata pada realita lapangan: pasokan sawit dari kebun meningkat akibat panen raya.
“Sistem rotasi kami berlakukan, dan semuanya berbasis kesukarelaan,” jelas Yusran. “Yang datang hari ini, Minggu, bisa ambil libur di hari lain. Yang penting, operasional pabrik tetap jalan, dan semua karyawan tetap sehat.”
Yusran menambahkan, keputusan untuk tetap membuka pabrik di hari Minggu adalah bentuk adaptasi terhadap dinamika industri sawit yang sangat tergantung pada kesegaran bahan baku. “Sawit itu seperti ikan segar. Semakin cepat diolah, semakin tinggi kualitasnya,” katanya.
Di ruang kontrol utama, tampak wajah muda bernama Fikri, 26 tahun. Ia baru dua tahun bergabung. Baginya, bekerja di hari Minggu bukan beban, melainkan pengalaman.
“Dulu saya pikir kerja Minggu itu melelahkan. Tapi setelah coba, malah jadi ketagihan,” ujarnya. “Kita bisa saling bantu, suasana lebih akrab, kadang manajer pun ikut bantu angkat-angkat.
Ia mengaku di hari Minggu sering muncul inovasi. "Kita punya waktu lebih rileks untuk eksperimen kecil. Misalnya kemarin, kami coba cara baru mengatur suhu perebusan. Hasilnya lebih stabil.
Walau begitu, pihak manajemen tetap memberi perhatian khusus pada aspek keseimbangan hidup. “Kami tidak ingin karyawan kelelahan atau kehilangan waktu keluarga,” kata Zainal, Supervisor Produksi. “Makanya, setiap Minggu kami batasi jumlah personel maksimal 40% dari total.”
Manajemen juga menyediakan ruang istirahat nyaman, kantin dengan menu spesial Minggu, dan hiburan seperti siaran bola atau musik di ruang makan.
Di sisi lain, keluarga para pekerja pun telah terbiasa. “Anak-anak saya sudah tahu, kadang Minggu ayah kerja. Tapi saya ganti di hari lain, kami pergi mancing atau makan di luar,” ujar Rahmad.
Kisah ini mungkin tak terdengar di balik suara wajan rumah tangga yang diguyur minyak goreng. Tapi, di balik setiap tetes minyak sawit yang digunakan, ada peluh dari para pekerja seperti Rahmad, Sulastri, dan Fikri.
Mereka adalah bagian dari roda besar industri sawit Indonesia, yang terus bergerak bahkan saat dunia sedang rehat. Mereka mengorbankan waktu libur demi keberlanjutan produksi, kualitas mutu, dan stabilitas harga.
Minggu, bagi mereka, bukan semata hari libur, tapi kesempatan untuk tetap menyala, tetap terlibat, dan tetap berdampak.
Tak semua pahlawan mengenakan jubah. Di Cot Girek, mereka mengenakan helm kuning, sarung tangan minyak, dan sepatu boot. Mereka tidak tampil di layar kaca, tapi hasil kerja mereka ada di dapur setiap rumah tangga. Mereka adalah para penjaga mutu, yang tahu bahwa sawit bukan sekadar komoditas, tapi kehidupan.
Dan mereka telah membuktikan: Minggu pun bisa produktif, selama dikerjakan dengan hati.
Reporter: ZAS
Editor: D’zul
Tags
Aceh Utara