Aceh Timur – Senin, 14 Juli 2025
Langit Pante Bidari pagi itu tidak hanya cerah secara cuaca, tapi juga secara makna. Di sebuah sekolah dasar di pedalaman Aceh Timur, puluhan pasang mata kecil menatap ke depan—ke arah seorang pria bersahaja yang berdiri tanpa protokol, tanpa formalitas: hanya dengan beberapa kotak berisi buku dan wajah penuh ketulusan.
Dialah Darkasyi, SE, Camat Pante Bidari. Tapi pagi itu, ia bukan sekadar pemimpin daerah. Ia hadir sebagai saksi hidup dari luka sejarah, sekaligus bukti nyata bahwa masa lalu yang gelap bisa menjadi bahan bakar perubahan.
Tanpa mikrofon, tanpa panggung, ia mulai membagikan buku tulis dan buku gambar kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu. Namun yang paling berharga bukanlah isi kotaknya—melainkan isi hatinya yang terbuka di depan mereka.
"Saya dulu seperti mereka… Bahkan mungkin lebih sulit, katanya lirih, tatapan matanya kosong menembus ruang dan waktu.
Darkasyi bukan datang dari keluarga elite. Ia adalah anak dari seorang pejuang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang menjadi korban konflik bersenjata di masa Daerah Operasi Militer (DOM). Ayahnya gugur di tangan aparat, rumah mereka digerebek, dan sejak kecil ia harus belajar hidup sebagai yatim dalam bayang-bayang trauma dan kemiskinan.
"Saya masih SD saat itu. Ayah tak pernah pulang. Sejak itu hidup kami jungkir balik. Saya sering menulis di balik kertas bekas karena tak punya buku, kenangnya.
Namun, dari semua penderitaan itu, satu hal tak pernah ia lepaskan: sekolah. Buku, walau kadang hanya potongan kertas usang, menjadi jembatan menuju masa depan. Dan hari ini, ia datang membawa buku yang utuh—untuk anak-anak yang pernah ada di posisi yang sama seperti dirinya.
"Saya tidak ingin mereka merasakan rasa malu yang dulu saya alami. Kalau saya mampu bantu, saya bantu. Karena saya tahu, luka masa kecil itu bisa sembuh… kalau ada yang peduli. Sebut Darkasyi.
Bukan hanya buku yang ia berikan. Ia menanamkan semangat hidup, cahaya keyakinan, dan pesan mendalam bahwa setiap anak di Pante Bidari berhak untuk bermimpi setinggi-tingginya.
"Dulu saya hanya anak kecil dari pelosok desa, anak dari seorang pejuang. Tapi sekarang saya berdiri di sini sebagai camat. Kalau saya bisa, kalian juga bisa! Semangat Camat Darkasyi.
Suasana mendadak hening. Tak ada yang bersorak, tapi banyak yang tersentuh. Beberapa anak terlihat menyeka air mata. Guru-guru menunduk, menahan haru.
"Gunakan buku ini bukan hanya untuk menulis tugas, tapi untuk menulis harapan. Gambar masa depan kalian. Jangan batasi mimpi hanya karena hari ini kalian belum punya apa-apa, lanjutnya penuh semangat.
Bagi masyarakat Pante Bidari, hari itu bukan sekadar momen pembagian bantuan. Itu adalah hari ketika luka masa lalu menjelma jadi cahaya bagi generasi baru.
Langkah kecil Darkasyi—membagikan buku dari dana pribadi—menjadi bukti bahwa kekuasaan bisa hadir dalam bentuk empati, bukan hanya instruksi. Bahwa masa lalu yang perih bisa menjadi pijakan untuk membangkitkan yang lain.
Salah satu guru menyebut, "Anak-anak senang sekali. Ada yang sampai mencium bukunya. Ini bukan tentang benda, ini tentang harapan."
Hari itu, di balik halaman sekolah yang sederhana, Darkasyi tak hanya membagikan buku—ia menanamkan makna, memberi arah, dan menghidupkan kembali keyakinan bahwa anak-anak Aceh, betapapun kecilnya mereka hari ini, bisa jadi besar suatu saat nanti.
Reporter: Tim