Berbagi Tiga Seri Cerita Nelangsa Pengungsi Rohingya



Bagi saya ini adalah feature panjang pertama saya bekerja sebagai jurnalis di Jawa Pos. Proses editing adalah proses yang kadang jurnalis benci. Ada pemotongan alur cerita, plot, momentum dan suasana yang terkadang akan menyesakan dada. Tapi ya apa mau dikata, terima secara legowo saja lah..

Saya sebenarnya ingin berbagi banyak cerita bagaimana saya menyusun tiga seri tulisan ini. Ada proses dan bagan yang lebih semerawut namun asyik itu diruntut. Hari ke hari. tokoh ke tokoh. Dalam tulisan terpisah saya berjanji akan melakukannya.

Sebagai jalan pembuka untuk sharing penulisan kisah Rohingya ini, alangkah baiknya anda membaca tiga seri tulisan saya yang semuanya murni tanpa editing dari redaktur. Jika anda mencermati, anda akan menemukan banyak hal, diantaranya adalah gaya-gaya penulis top yang memang saya coba eksperimen di tiga tulisan ini. Selamat membaca!

Dendam di Selat Malaka yang Di bawa ke Kuala Langsa

Para asilum yang ditampung di pelabuhan Kuala Langsa, kota Langsa, punya kisah yang lebih nelangsa. Bertahan hidup yang mereka lakukan, tak hanya sekedar menahan lapar, dahaga dan letih. Namun juga menahan rasa dendam.

Lelaki itu tak bisa tidur. Malam terlalu larut. Tak ada angin yang bersemilir. Udara terasa lebih dingin dan lembab.

Tetapi lelaki itu tak bisa merasakannya. Dadanya berdesir. Hatinya bergidik. Ia beranjak ke luar, menghampiri Jawa Pos yang sedang asyik berbincang dengan para penduduk lokal Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh.

Lelaki itu terhenyak dalam lamunannya. “Hey, kenapa tidak tidur?” tanya saya yang sedikit mengagetkannya. Dengan bahasa Inggris yang cukup fasih, Muhammad Tayub Ali, 28 tahun, pengungsi dari etnis-Rohingya itupun mulai bercerita.

Ali masih tak percaya dengan nasib yang mengeretnya. Semua kejadian ini diluar rencana yang telah dia susun selama setahun lamanya. “Malaysia. Di sana ada harapan dan pekerjaan,” katanya.

Kepada Jawa Pos dia menerangkan namun bukan itu yang dia bimbangkan. Ali mengaku tak pernah tau apa nasib waktu. Masa depan ia hiraukan agar berjalan dengan sendirinya.

Namun ada mahkluk jahat bernama masa silam yang membelit kenangan orang-orang sepertinya dan tidak ingin melepasnya: kisah horror di tengah laut. Kenangan buruk itu bahkan di bawa sampai alam mimpi.

Malam itu saya memang sengaja datang ke kamp tengah malam, saat pengungsi sedang terlelap. Dalam ilmu psikolog, tingkat stres dan trauma seseorang bisa terlihat dari cara mereka tertidur. Meski terpejam, Igauan pengungsi yang menangis, meringis, meminta tolong, menyebut nama-nama keluarga sayup-sayup terdengar. Hal ini dialami beragam usia, dewasa hingga balita. Pria atau wanita.

“itu adalah momen yang mengerikan. Benar-benar mengerikan, saya tak ingin lagi-lagi mengingatnya,” kata Ali sambil menengadah.

Setelah terkatung-katung 41 hari di atas laut, perahu yang disesaki 363 orang dan sudah overload itu meski ke tambahi 558 orang tambahan dari tiga perahu kecil yang berdatangan. Kebanyakan dari mereka adalah pria Bangladesh dewasa.

Kondisi ini diperparah dengan kaburnya kapten kapal dan smugglers yang meninggalkan mereka. Kapal pun terombang-ambing tanpa arah dan tujuan. Dengan muatan yang sangat berlebihan selama sebulan lebih.

“Meski begitu, kami bersahabat dengan mereka. Saling membaur dan berinteraksi,” tuturnya.

Persediaan air dan makanan makin menipis. Beruntung beberapa kali nelayan lokal serta militer Indonesia dan Malaysia datang memberi bantuan makanan. Namun setelah itu mereka pergi, dan lagi-lagi membiarkan sembilan ratus pengungsi ini terlunta-lunta di tengah laut seorang diri.

“Stok air hanya tinggal empat botol. Dan itu untuk wanita dan bayi-bayi kami. Namun Bangla (Orang Bangladesh, Red) marah tak menerimanya. Gara-gara itu, di atas dek kapal, orang jadi terbagi dua. Mereka di depan, kami di belakang. Anak-anak dan wanita” ucapnya.

Senja yang jingga mulai turun di Selat Malaka. Matahari berbinar, tempias pada genangan air ombak yang relatif tenang. Namun di atas dek kapal ketenangan itu sama sekali tak terasa. Tiba-tiba saja, terjadi tawuran masal di sana. Dek kapal yang hanya berukuran 10 x 20 meter jadi arena untuk saling membantai. Kayu, besi, pisau, parang dan tombak jadi senjata yang mereka dapat entah darimana.

Para lelaki yang takut berkelahi memilih mencebur ke laut. Perempuan dan anak-anak tak henti menjerit histeris di bagian belakang. Para wanita yang terjebak di atas dek, terpaksa jadi korban. Kalah jumlah, Myanmar pun terdesak. Yel-yel’ “Joy Bangla (Kejayaan untuk Bangla, red)” menggema di atas kapal. Perkelahian ini berakhir ba’da isya. Selang beberapa lama, datanglah nelayan Indonesia mengambil peran untuk menyelematkan seluruh pengungsi ini.

“Ada 93 orang Myanmar yang terbunuh, sembilan diantaranya adalah wanita. Mayat-mayat yang masih di atas dek, langsung di buang ke laut,” tukas Ali.

“Jika mereka (Myanmar, red) memberi kami air hal ini tak akan terjadi. Karena sebelumnya pun kami berhubungan baik di atas kapal. Sungguh menyedihkan, kami saling membunuh karena hal sepele. Ada sekitar 50 orang dari Bangla yang tewas gara-gara kejadian itu,” ucap Maynubbin, 23 tahun, warga Bangladesh yang mengaku memilih mencebur ke laut ketimbang bertarung di atas kapal.

Saat pertarungan ini berlangsung, Jamal Husein, 8 tahun, hanya bisa menangis dan bersembunyi di balik kayu yang terletak di dekat ruang kapten. Dia menangis sambil mendekap adiknya, Rizuana, 3 tahun yang tak henti merengek.

Ayah, ibu dan dua saudaranya tewas menggenaskan. Mereka tewas dibunuh oleh orang Bangladesh saat perkelahian terjadi di atas kapal. Mayat mereka di buang ke tengah laut. Adegan per adegan bahkan masih diingat dengan sangat dalam memori Jamal.

“Mereka memukul ayahku dengan pisau dan kayu, Ibu dan saudaraku yang berusaha menyelamatkan di bunuh juga mereka. Setelah keluargaku mati, mereka membuang mayatnya di laut,” kata Jamal lirih.
“Saya hanya bisa menangis dan menangis, mengingat ayah dan Ibu,”

Zaqiz Hussein dan Nomu Begum adalah pasangan petani miskin di Pompaja, Myanmar. Dengan modal nekat Zaqiz hendak membawa istri dan empat anak mereka merantau ke Malaysia, Jamal dan Rizuana pun ikut dibawa.

Siapa sangka bukan status kemapamanan, malah status yatim piatu yang Jamal dan Rizuana dapatkan. “Saya tidak tahu harus kemana, saya tak punya saudara di sini,” katanya polos.

Manu, seorang gadis 18 tahun, merasa iba dan akhirnya merawat Jamal dan Rizuana. “Saya tidak mengenal Jamal dan Rizuana, tapi kami berasal dari distrik yang sama. Jadi dia akan bersama saya selamanya,” paparnya.

Kematian keluarga Jamal dilihat langsung oleh Manu. Dia hanya bisa diam, bersembunyi dan mengintip dari celah-celah dinding kayu kapal. “Kami semua wanita. Semua diam. Takut, tak ada yang berani melawan,”

Di saat orang tua Jamal tewas dan Manu bersembunyi, pada waktu yang bersamaan, Hasima Begum, 18 tahun sedang berusaha mempertahankan hidup. Seorang Bangladesh mendekatinya dan hendak melemparkannya keluar dari perahu. Beruntung Hasima memegang tiang kayu dengan erat. Frustasi, lelaki itu hanya memukul kepalanya dan melenggang pergi.

Namun bukan itu yang membuat Hasima mendendam. Beberapa menit sebelumnya, dengan mata kepala dia sendiri, dua adiknya yang berusia 17 tahun, Amma Haizun dan Januaza meski meregang nyawa akibat dipukul telak dengan besi mengenai ubun-ubun kepala dengan sekeitika.

“Saya tak tau ketika itu adik saya masih hidup atau tidak. Sebelum saya sempat mendekati jenazahnya, mereka langsung mengangkat dan melempar tubuh itu ke laut,” katanya sedih.

Kondisi semerawut yang terjadi di atas kapal membuat Muhammad Ami takut. Lelaki Myanmar berusia 48 tahun itu memilih mencebur ke laut, menjauh dari kapal dan berenang lima kilometer selama empat jam untuk mencari bantuan.

Dia berenang ditengah-tengah kondisi yang total gelap, karena waktu itu posisi bulan memang sedang mati.

“Setelah diselamatkan nelayan, saya langsung kembali ke kapal. Orang-orang Myanmar yang ketakutan langsung loncat ke laut. Melihat orang Myanmar di selamatkan nelayan. Orang Bangladesh pun ikut-ikut meloncat,” ucapnya.

Di kamp penampungan Kuala Langsa, dua musuh yang dulu sempat berseteru dan saling membunuh itu kini bersatu. Meski begitu dendam diantara mereka masih bisa tetap terasa.

Kepada Jawa Pos, Manu dan Hasima masih ingat betul wajah-wajah yang menghabisi keluarga mereka di atas kapal. “Mereka ada di sini. Mereka hilir mudik dan sering bertatap wajah muka dengan saya. Kebencian pada Bangla tak akan mudah untuk dihilangkan,” ucap Hasima tegas.

Hal sama juga dialami Jamal. Membayangkan bocah delapan tahun bertatapan dengan pembunuh keluarganya yang kini berkeliaran bebas jadi hal amat mengerikan. “Dia ada di sini. Saya sempat melihatnya. Saya takut kepada dia. Sangat takut,” katanya secara pelan.

“Itu orang yang memukul saya. Itu orang yang melempar saudara saya ke laut. Itu orang yang menusuk teman saya dengan pisau,” ucap Abdul Rosyid, 35, warga Bangladesh yang tampa segan menunjuk sekumpulan orang Rohingya yang duduk-duduk di sekitar kamp

Jadi Korban Maritim Pingpong Tiga Negara ASEAN (Bagian 2)

Hidup hanya menunda kematian. Tambah terasing dari dari perilaku manusia yang mengasingkan manusia lainnya. Sebelum pada akhirnya mereka menyerah pada keadaan. Itulah ihwal peristiwa yang dialami para pengungsi Myanmar dan Bangladesh saat terombang-ambing di lautan berbulan-bulan.

Sayidul Islam, 17 tahun dan Muhammad Rafiq, 21 adalah remaja etnis Rohingya yang hidup di kamp pengungsi UNHCR di Kutapalong, Bangladesh. Hidup jadi orang miskin yang terasing di negeri orang lain amat menyiksa.

Karena itu, saat agen perdagangan manusia, Nurul Haq datang menggoda untuk menjadi imigran gelap ke Malaysia, dengan sigap tawaran itu diterimanya. Meski merogoh kocek 4000 – 5000 ringgit sekalipun, alias Rp, 14 – 18 juta per orang sekalipun. “Saya dapat uang dengan menjual segala apa yang keluarga kami punya,” kata Rafiq menyambut.

Suatu hari di akhir Januari, jam tujuh pagi mereka berangkat menggunakan perahu kecil kapasitas delapan orang dari kota Chittagong – kota kecil sekitar 242 kilometer dari ibukota Dhaka – menuju tengah laut.

Butuh waktu empat jam perjalanan sebelum mereka dipindah oleh para smugglers ke boat yang lebih sedang dan diisi 25 orang.

Perahu sedang itu amatlah sederhana. Hanya mesin dan terpal yang jadi tudung pelindung dari sengatan matahari. Dengan perahu itu mereka semakin menjauh dari daratan, menuju tengah-tengah teluk Bengala. “Waktu perjalanan menghabiskan 1 hari 1 malam,” lanjutnya

Siapa sangka di tengah laut yang luas itu, mengambang perahu besar yang siap membawa imigran ke tanah harapan. Para smugglers memang memaksa para imigran melakukan transit berkali-kali demi mencegah tertangkap aparat.

“Mereka bukan takut ditangkap. Tapi takut diperas Polisi dan tentara di Bangladesh serta Myanmar yang sangat korup. Lewat radio, kapten kapal beberapa kali kontak dengan tentara Myanmar meminta agar jangan terlalu mahal dalam meminta sogokan, ” kata Rafiq menuturkan.

Kapal besar itu bermuatan 363 orang. Saat tiba di sana kapal masih kosong melompong. Jangkar di lepas, mesin masih di matikan. Kapal ini tak akan berangkat sebelum seluruh muatan penuh. Alhasil yang datang di awal dialah yang paling menderita, sebab meski menunggu berhari-hari lamanya.

“Kami tinggal di kapal 21 hari menunggu perahu-perahu kecil berdatangan. Kadang sehari sampai 10 orang, kadang 20 orang. Kapten memutuskan berangkat jika kapal sudah penuh,”

Hari ke 22, mesin menderu dan kapal melaju ke perairan Thailand. Butuh waktu 7 hari 7 malam sebelum akhirnya mereka sampai di perbatasan. Kontak dengan militer Thailand terjadi, kapal dilarang masuk ke perairan Thailand. Terungkitnya kasus sindikat perdagangan manusia di Songhkla, membuat pemeritah Thailand memperketat penjagaan.

Buntutnya para imigran ini meski terombang-ambil di laut selama 41 hari lamanya di Laut Andaman. Selama dua bulan kurang itu mereka amat menderita, kapal yang sesak membuat mereka tak bisa bergerak leluasa. “Kami tak bisa bergerak atau berdiri. Kami hanya bisa duduk berjongkok. Hari ke hari. Minggu ke minggu. Memandang laut dengan penuh keputusasaan,”

Beruntunglah mereka yang berada di dek kapal, karena ada udara laut segar yang bisa dihirup. Lain hal dengan mereka yang hanya bisa membayar murah dan ditempatkan di dalam lambung kapal. Ada tiga tiga tingkat ruangan yang bisa ditempati. Selisih tinggi tingkat per tingkat hanya satu setengah meter. Saat berdiri otomatis kepala mereka akan terkena atap kayu.

Tak hanya itu kondisi amat pengap. Sempit dan bau, karena banyak aktifitas kencing atau buang kotoran di lakukan di dalam sana. Kondisi inilah yang dialami mereka selama dua bulan lamanya.

Hal ini diperparah dengan limpahan 558 penumpang baru dari tiga kapal kecil dari Bangladesh. Total ada 900 orang lebih dalam satu kapal yang hanya bisa menampung 400 orang. Begitu berjejalan!

Hari ke-70, jam tujuh malam, mesin dihidupkan oleh kapten yang berkebangsaan Thailand itu. “Kalian semua akan pergi ke Malaysia,” ucapnya yang disambut sukacita seluruh penumpang. Setelah empat jam, kapal kembali berhenti. Semua orang terdiam dan saling bertanya-tanya. “Ada apa ini? Ada apa?”

“Dorr..dorr..dorr..” tanpa diduga, kapten mengeluarkan pistol revolver yang terselip dipinggangnya dan menembak semua orang yang protes dan banyak omong. Hanya lelaki dewasa yang dibunuh, karena wanita dan anak-anak berada di belakang kapal. Tindakan kapten ini diikuti lima anak buahnya. “Ada sekitar 70 – 80 orang yang mereka tembak. Saya tak bisa menghitungnya,” ucap Muhammad Tayyub Ali, 25 tahun.

Penderitaan semakin menjadi setelah sang kapten memilih untuk kabur bersama anak buahnya. Tersiar kabar AL Thailand mencoba mendekat, enggan ditangkap, Kapten memilih meninggalkan pengungsi ini terombang-ambing di Laut Andaman.

Beruntung salah seorang pengungsi bisa mengendalikan perahu, Muhammad Ami, 46 tahun seorang Nelayan membawa perahu itu berjalan 1 hari 1 malam tanpa tujuan. Bensin habis, kapalpun berhenti. Datanglah tentara Laut Diraja Thailand, namun mereka enggan mendekat dan hanya melihat dari jauh saja. Dan kemudian pergi.

Jam 12 siang, datanglah empat nelayan Indonesia yang memberi bantuan: makanan, minuman, bahan bakar dan mengajari pengungsi ini mengemudikan kapal secara benar.

“Dimana ini? Kami ingin ke Malaysia,” tanya Tayyub.

“Ini adalah perbatasan Indonesia. Dan itu di sana Malaysia,” jawab nelayan tersebut.

Setelah nelayan pergi, karena tak tahu arah, kapal malah mengarah ke teritori Indonesia. Malam harinya datanglah kapal patroli TNI-AL dan Polisi Air, memberi bantuan 10 air, 10 dus mie dan 2 boks biskuit. Tambang mereka kaitkan pada perahu pengungsi, dan mengeret mereka ke luar wilayah Indonesia menuju Malaysia selama satu hari satu malam.

Sampai di sana, tambang diputus dan mereka ditinggal. Kapal-kapal ini kini bersandar di pelabuhan Kuala Langsa. “Saya ingat kapal ini yang meninggalkan kami di laut,” ucap Ali Sanja, warga Bangladesh, 24 tahun Saat Jawa Pos mengklarifikasi cerita ini kepada ABK yang berleha-leha, mereka enggan menjawabnya.

Setelah sampai perairan Malaysia, selang esoknya, datanglah tiga kapal imigrasi dan Tentara Diraja Malaysia.

“Sir, kami benar-benar dalam masalah. Anak-anak dan ibu menangis semua. Kami kelaparan dan kehausan, berbulan-bulan kami di lautan,” pinta Tayyub.

“Oke-oke kami akan mendrop kalian ke kapal di belakang dan membawa ke Malaysia,”

Tambang kapal pun kembali dikaitkan. Di saat senja, perjalanan menuju Malaysia dimulai. Selama 12 jam ditengah gelap gulita malam, para pengungsi merasa senang. Jam lima pagi, Imigran Malaysia memberikan makanan dan minuman.

Setelah beres, tambang di potong dan mereka pergi dengan memunggungi. Mereka membawa pengungsi ini untuk kembali ke perairan Indonesia.

“Semua orang menangis dan berteriak histeris. Ya allah..Ya allah.. Mereka tahu ini bukan Malaysia. Sejauh mata memandang hanya ada laut, laut dan laut. Apa salah kami pada mereka? Sudah tiga kali kami diperlakukan dan dibohongi,” ucap Ayyub lirih.

Beberapa orang yang frustasi memilih mencoba berenang menyebrangi lautan yang luas, entah apa nasib mereka sekarang, hidup atau mati.

UNHCR melansir saat ini ada sekitar 4000 – 6000 orang Myanmar dan Bangladesh yang masih terkatung-katung di tengah lautan. Hampir 40% diantaranya adalah anak-anak dan wanita.

Kamis tengah malam, telepon saya berdering. Salah seorang nelayan yang menyelamatkan kapal yang terdampar di Desa Simpang Tiga, Kecamatan Julok, Aceh Timur mencoba mengungkapkan rasa bimbang yang ingin dia bagi. “Bang, besok saya mau dipanggil menghadap Kapolda, kira-kira ada apa ya? Bisa minta carikan info?” pintanya.

“Oke. Siap!”

Keesokan harinya saya pun menghubungi kembali sang nelayan tersebut. “Bagaimana pertemuan dengan Polda tadi, jadi?”

“Gak jadi. Polda gak jadi hadir. Tadi saya jumpa Kapolres. Dia bilang, sesuai intruksi Polda kalau ada perahu lagi segera lapor ke Polisi. Jangan ambil keputusan sendiri. Kalau bisa jangan di bawa ke darat, cukup kasih makan saja. Nah, Lantas saya harus gimana, Bang? ”

Pertanyaan ini menyiratkan ada rasa gelisah yang dia rasakan.

“Oh tidak benar itu. Kami tak pernah mengintruksikan kepada Polres-polres tentang perintah itu,” bantah Kabid Humas Polda Aceh, T Saladin saat dikonfirmasi via telepon.

Meski dibantah oleh pihak Polda, Informasi dari nelayan ini amat memilukan. Mengingat beberapa hari sebelumnya Wakil Presiden, Jusuf Kalla dan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi sudah menyepakati Indonesia siap menampung para pengungsi yang masih terombang-ambing di tengah Laut. Dan berjanji tak akan mengusir lagi seperti yang terjadi-terjadi sebelumnya.

Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan. Bukan untuk mereka yang membatasinya dengan batasan-batasan teritorial belaka.

Tindakan maritim pingpong yang kompak dilakukan pemerintah Indonesia, Thailand dan Malaysia adalah sebuah ironi dan bertentangan dengan nilai-nilai humaniora yang selalu mereka agungkan. Saat Jawa Pos meminta tanggapan kepada Dr Sajed, Koodinator pelaksana IOM (International Organization of Migration) dia hanya geleng-geleng kepala. Hanya sepatah kalimat yang dia ucapkan yang jelas mengutip quote dari seorang Ilmuwan jenius, Albert Einstein.

“Because human stupidity has no limits – karena kebodohan manusia itu tidak terbatas,”

Membangun Masa Depan Tanpa Menghacurkan Harapan Penduduk Lokal (Bagian 3)

Saat Konflik Aceh terjadi masyarakat di pesisir Pantai Aceh Timur jadi garda terdepan menentang republik. Konflik berkepanjangan seolah menutup pintu keramahan mereka kepada para pendatang. Tapi kini, mereka jadi garda terdepan dalam hal kemanusiaan.

Malam Jumat, 14 Mei 2015. Berlokasi 35 Mil di tengah laut, dari Pelabuhan Kuala Langsa.

Syahdan, Ar Rahman atau biasa disapa Pak Do terenyuh melihat pemandangan itu. Hatinya tergerak. Rasa kemanusiaannya mencuat keluar. Meski kondisi gelap, dilihatnya secara samar wanita serta anak-anak yang kumal dan lemas itu melambai dengan air mata tumpah ruah.

Tangan mereka terulur meminta bantuan. Harunya tercekat. Dengan bergegas Pak Do dan perahunya mendekat. Meskipun hatinya kala itu was-was. Puluhan pria loncat dari perahu dan mengucap takbir, membuat rasa haru dan takut bercampur satu. “Saat mereka ucapkan takbir itu hati saya pilu. Mata serasa mau menangis haru, bukanlah manusia jika kami membiarkan mereka mati di laut sana,” katanya berapi-api.

Padahal yang mereka tolong itu bukan sanak bukan semenda. “Ketika tahu bahwa mereka se-iman, kami langsung bergegas memberi pertolongan,” ucap sosok eks pemimpin GAM ini.

“Ada sesuatu yang dibela, sesuatu yang lebih berharga daripada hanya hidup dan mati. Ini soal keimanan dan kemanusiaan. Masihkah kami memiliki Iman? Masihkah kami jadi sebagai manusia seutuhnya?” katanya bijak.

Semasa konflik, kebanyakan gampong-gampong di pesisir pantai Aceh Timur dikenal daerah merah. Basis utama kekuatan GAM berada di sana. Banyak eks-kombatan yang kini menyaru bekerja sebagai nelayan. Ingatan masa lalu, membuat mereka selalu menjaga jarak dengan tamu. Penuh curiga terhadap gerak-gerik para pendatang.

Aceh memegang erat budaya “Peumeulia Jamee” alias memuliakan tamu. Banyak tarian dan syair-syair lahir dari penjamuan tamu. Namun konflik membuat budaya ini seolah menghilang dalam diri masyarakat di pesisiran. Mereka cenderung jadi insan yang tertutup.

“Sulit sekali sebenarnya berinteraksi dengan mereka itu. Mengadakan kegiatan-kegiatan pun mereka biasanya tak mau,” kata Benyamin S, Budayawan Langsa.

Sinisme itu nyatanya tak sejalan dengan kenyataan. Tindakan heroik yang dilakukan ratusan nelayan dari Kuala Langsa, Kuala Cangkoy, Julok, Aceh

Tamiang jadi buktinya. Mereka jadi garda terdepan sebagai pejuang kemanusiaan. Kemeleratan sekalipun tak menghalangi mereka untuk ikut membantu.

Nur Rahmah, seorang Ibu warga kampung Kuala Langsa ini sengaja mengajak anaknya datang ke penampungan pengungsi yang hanya berjarak 100 meter dari rumahnya. Dia tersenyum melihat tiga wanita Rohingya yang mendekat padanya.

“Jujur saja di rumah sudah tak ada apa-apa lagi untuk di makan. Beras sudah diberi ke sini pas hari pertama mereka datang. Namun saya senang membantu. Allah maha pemberi. Dia bisa beri rezeki ke siapapun yang dia mau,”

Akrab dengan keluh kesah dan tawa mereka, akrab dengan mimpi dan kegetiran mereka. Itulah korelasi antara Masyarakat Aceh dan pengungsi Rohingya atau Bangladesh saat ini. Bayang-bayang penindasan saat terjadi konflik, kemiskinan yang mendera jadi alasan utama. Upaya bantuan kemanusiaan yang dilakukan bukan hanya sebatas individu per individu tapi kolektifitas secara masyarakat.

Saya masih teringat, saat terhentinya rombongan para pengungsi di tapal batas Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa, akibat kesepakatan lokasi penampungan yang belum jelas. Lamat-lamat terdengar lewat toa-toa masjid, kutipan ayat quran dan hadis yang memerintahkan untuk membantu para pengungsi dilakukan para pemuka agama di sekitar lokasi. Warga pun memadati untuk menyumbang.

Seorang nenek dengan cucunya mengebut memakai motor bebek sambil membawa satu kerdus dan satu kresek pakaian bekas untuk bantuan. Nafasnya tersengal-sengal, saat berhenti di depan rombongan. “Untong golom teulat – untung belum telat,” katanya. Kepada Jawa Pos, si nenek mengaku berasal dari Bayeun Keude, 10 kilometer dari lokasi.

Ketika di Puskesmas Julok, saya sempat terkekeh-kekeh saat melihat Azhari, warga lokal yang ingin merawat seorang pemuda Rohingya. Kepada Satpol PP yang mengawal, Azhari mengaku pemuda Rohingya tersebut adalah orang Aceh.

Namun saat ditanya dalam bahasa Indonesia,si pemuda malah geleng-geleng kebingungan. Sontak saja ketahuan dan dinaikan ke dalam bus. “Saya sempat bawa dia ke rumah tadi kasih makan. Saya ingin angkat dia jadi adik. Sialnya malah ketahuan sama petugas yang itu,” keluhnya lucu.

Bantuan dan dukungan masyarakat Aceh kini terus bergelimangan datang. Namun sampai kapan? Ada suatu masa akan terhenti. Lantas kemanakah nasib para pengungsi ini akan tertuju?

Muhammad Kamal berusia 20-an. Kurus. Kecil. Dan hitam. Sore itu dia duduk sendiri melamun di dermaga, merapatkan lutut di dada serta bersandar pada besi besar untuk mengikat kapal yang bersauh. Pandangannya tertuju pada perahu nelayan yang sedang merayapi cakrawala. Saya menghampiri dan duduk memunggungi. Mencoba menikmati senja yang sore itu tak berwarna jingga. Tapi gelap, biru kehitam-hitaman.

Tiba-tiba Kamal menangis. Dia terisak dan mencoba menutupi air matanya dengan menundukan kepala rapat-rapat. “Kenapa?” saya bertanya. Kamal memilih diam. Selang beberapa menit kemudian dia berkata. “Rumah. Rumah. Keluarga. Saya ingin pulang,” katanya dalam bahasa Inggris yang terbata-bata.

Kamal adalah gambaran pengungsi Bangladesh saat ini. Ada 720 pengungsi asal Bangladesh yang ditampung pada empat lokasi di Provinsi Aceh. Kebanyakan mereka semua memilih pulang. Meski sekembalinya nanti kemiskinan lagi-lagi menjerat.

“Mereka rela berbulan-bulan di laut untuk bisa bekerja di Malaysia.Berbeda dengan pengungsi dari Rohingya yang mencari suaka. Karena itu secepatnya Bangladesh ini akan di deportasi. Dan mereka memang menginginkan itu,” ucap Jeffrey Savage, UNHCR senior protection officer.

Sekitar dua bulan ke depan, mereka direncanakan akan pulang dari Banda Aceh dengan memakai jalur laut. Tetapi batin mereka memberontak. Ada rasa trauma yang menghinggap. “Jangan laut. Saya mohon. Kami trauma,” kata salah seorang pengungsi kepada staff IOM (International Organizatuon Migrant) yang sedang mendata.

Lain hal dengan pengungsi dari Myanmar. Kembali ke tanah air bagi mereka adalah tabu. “Kami hidup di sana susah. Kami tak diakui sebagai manusia. Sekolah susah. Ibadah susah. Bekerja pun susah. Tak hanya itu kamipun di bunuhi di sana. Saya tak ingin kembali. Lebih baik mati di sini daripada kembali,” kata Ruqiyah Hatun, 20 tahun.

Mungkinkah berencana menikahi orang Indonesia? “Oh tidak. Saya sudah punya suami dan anak. Hahaha,” katanya.

Siang terik menyengat ubun-ubun kepala. Disamping posko bantuan milik Dompet Dua’fa, dipajanglah lembaran-lembaran kertas karya anak-anak Rohingya yang bergoyang-goyang di tiup angin.

Saya mendekat dan tertegun saat melihat gambar milik Mohammad Ayas. Fantasinya menggambarkan satu rumah terbakar besar dilalap api. Dua orang tergolek bergelinang darah. Adakah trauma berlebih yang di dapat bocah berusia 10 tahun ini?

“Satu. Dua. Tiga…..Empat Puluh. Lima Puluh,” suara itu terdengar di Posko Dompet Dua’fa. Ayas ternyata ada di sana. Dengan fasih, angka-angka itu diucapkannya dalam bahasa Indonesia. Matanya berbinar menatap tutor berjilbab putih yang mengajarkannya kosa kata bahasa. Syukurlah dia terlihat bahagia.

“Saya tak ingin pulang ke Myanmar. Di sini saya bahagia. Di sana tak bisa sekolah. Saya ingin sekolah,” katanya merengek. Kemiskinan dan penindasan militer Myanmar membuatnya meski berhenti menempuh pendidikan saat duduk di bangku kelas tiga.

Mimpi Ayas muncul dari ketidakpastian masa lalu yang mengurung mereka di masa kanak-kanaknya. Tetapi mungkinkah mimpi itu berubah jadi kenyataan? Di sini. Di Indonesia?

Keinginan untuk bertahan Indonesia terbuka lebar, kemarin (24/5) saat berkunjung ke Kuala Langsa, Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa menjanjikan mereka bisa tinggal di Indonesia sebagai pencari suaka.

Meski begitu, etnis Rohingya punya rasa hormat yang sangat tinggi terhadap dirinya sendiri, sama tingginya dengan rasa hormat yang ia punya terhadap negeri ini. Tak selamanya tangan harus menjulur meminta. Mereka sadar keberadaan mereka amat menyusahkan. Tayyub Ali mengatakan ini. Karena itu dia berharap segera mendapat pekerjaan.

“Saya ingin bekerja. Tak ingin menyusahkan orang Indonesia. Mereka terlalu baik kepada kami. Saya ingin bekerja di restoran,” kata sosok yang selama ini menjadi penterjemah Jawa Pos selama di Aceh.

Bangsa ini sudah terbiasa bermimpi tentang harapan yang tinggal harapan. Harapan yang tak pernah urung jadi kenyataan. “Indonesia memang bukan Australia atau Amerika. Namun harapan untuk mencapai masa depan itu di sini masih tetap ada,” katanya.

Tatapan itu terlempar jauh pada masa depan, menantang masa depan dan segala kejutan yang disimpannya tanpa bersenjata apa-apa. Malam itu malam terakhir saya bersamanya (23/5). Kami mencoba berjalan menuju dermaga.

“Saya cinta negeri ini dan orang-orang di sini. Namun suatu saat saya harus meninggalkannya,” katanya, pelan.

Dia menatap langit yang dipenuhi bintang, dan tahu bahwa langit ini, tanah ini bukanlah tanah airnya. Dia menghela nafas dan berusaha mengatasi perasaanya secara lega setelah mengungkapkannya.


Penulis : Aneuk Syuhada

Sumber kutipan Aqwam Langsa

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama