ACEH TIMUR – Sore itu, Rabu (13/8/2025),
lapangan Peureulak Barat dipenuhi ribuan pendukung yang berharap melihat tim kebanggaannya mengangkat trofi Piala Bupati Aceh Timur 2025. Namun harapan itu runtuh pelan-pelan, digilas oleh permainan disiplin dan mental baja yang ditunjukkan Pante Bidari.
Sejak menit awal, Peureulak Barat mencoba menguasai permainan, namun setiap serangan mereka selalu dipatahkan. Pante Bidari tampil seperti singa lapar di tanah lawan — tegas, cepat, dan tak kenal lelah. Skor imbang bertahan hingga peluit akhir, memaksa pertandingan dilanjutkan ke adu penalti.
Di titik inilah mental diuji. Satu demi satu pemain Peureulak Barat melangkah ke titik putih, namun keberanian mereka seolah tergerus tekanan. Tendangan yang melenceng, bola yang terbaca, dan ketenangan luar biasa dari kiper Pante Bidari membuat tuan rumah semakin tertekan.
Saat tendangan penentu Pante Bidari menghujam gawang, suasana stadion pecah — bukan oleh sorak-sorai pendukung tuan rumah, tetapi oleh teriakan kemenangan dari kubu Pante Bidari.
Sementara itu, beberapa pemain Peureulak Barat tertunduk, ada yang menutup wajah dengan kaos, dan sebagian lainnya memandangi lapangan kosong dengan mata berkaca-kaca.
Camat Pante Bidari, Darkasyi, menyebut kemenangan ini sebagai bukti tekad yang tak tergoyahkan.
"Kami datang bukan untuk sekadar bermain, tapi untuk membawa pulang kehormatan. Anak-anak sudah membuktikan, dengan kerja keras dan persatuan, Pante Bidari bisa mengalahkan siapa saja, ujarnya penuh semangat.
Bupati Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky, turut memeluk beberapa pemain Peureulak Barat, memberi semangat agar kekalahan ini menjadi pelajaran untuk bangkit di turnamen berikutnya.
Sore itu, di kandang sendiri, Peureulak Barat harus menerima kenyataan pahit: mereka dibungkam, dibantah, dan dibantai mentalnya oleh ketangguhan Pante Bidari. Namun bagi sejarah sepak bola Aceh Timur, laga ini akan selalu dikenang — sebagai hari di mana raja baru dinobatkan, dan raja lama harus rela menunduk.
Sore itu, matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan Peureulak Barat. Lapangan yang tadi penuh teriakan kini terasa sunyi. Hanya terdengar suara langkah berat para pemain tuan rumah yang berjalan keluar, dengan kepala tertunduk dan hati yang belum siap menerima kenyataan.
Bendera yang tadi berkibar gagah di tribun kini terkulai lemas. Senyum para pendukung menghilang, berganti tatapan kosong yang menerawang. Anak-anak yang tadi riang berlari kini diam, memegang erat syal tim kebanggaan mereka.
Bagi Peureulak Barat, ini bukan sekadar kekalahan di papan skor — ini adalah luka di hati. Luka yang akan lama sembuhnya. Mereka kalah di rumah sendiri, di depan orang-orang yang mencintai mereka, dan harus menyaksikan rival mereka mengangkat trofi di tanah yang seharusnya menjadi milik mereka.
Dan di tengah kesedihan itu, Pante Bidari berdiri sebagai juara. Sementara Peureulak Barat menelan pahitnya kekalahan, Pante Bidari menorehkan sejarah. Malam itu, kedua tim sama-sama pulang — satu dengan trofi kebanggaan, satu lagi membawa beban pertanyaan yang akan menghantui: apa yang salah hari ini?
Reporter: ZAS
Tags
Aceh Timur